Hidangan ini sangat terkenal di Surabaya. Sebut saja bakwan Dempo, sebagian besar masyarakat Surabaya tahu. Mungkin tempat makan yang beralamat di jalan Dempo 17 ini usianya lebih tua dari aku hehehe… maklum gak sempat berbincang – bincang dengan pemiliknya, jadi tidak tahu persis kapan berdirinya, yang pasti sudah dari dulu.

Aku berkunjung ke rumah makan ini pada malam hari, setelah telepon terlebih dahulu tentunya, takut kalau sudah sampai sana ternyata tutup. Telepon aku dapat dari bertanya pada 108. Dari luar tampak seperti rumah pada umumnya dan memang tidak terletak di jalan utama alias berada di dalam perumahan. Setelah memasuki halaman baru terlihat meja dan kursi berderet di dalamnya. Rumah kuno yang di sulap menjadi rumah makan. Mejanya cukup unik, terbuat dari beton yang di tutup dengan keramik diatasnya. Mungkin alasannya sederhana, biar gampang dibersihkan dan tidak di tarik-tarik.

Tak lama kemudian pesanan kita datang, bakwan campur yang terdiri dari bakwan, siomay basah dan usus. Siomay dan usus goreng di sajikan dalam wadah terpisah. Kuahnya bening tapi rasanya hmmm sedap… apalagi perut dalam keadaan kosong. Yang tak kalah nikmatnya adalah menikmati siomay dan usus goreng dengan dicocol campuran sambal dan saos tomat, hmmm… yummy… usus yang di buang lemaknya dan dililit dengan cacahan daging serta tepung terasa nikmat di lidah.

Menurut informasi, tempat makan ini bersebelahan dengan tetangganya, yaitu Bakwan Dempo 19 yang di kelola oleh saudaranya. Jika anda sempat mencicipi bakwan Dempo di Jakarta beberapa saat yang lalu di Kelapa Gading, itu adalah cabangnya dari nomor 19, judulnya adalah Bakwan Dempo 19. Terlepas dari nomor yang mana yang anda pilih, yang jelas asanya bagi aku adalah sedappppp…

Bakwan Dempo, Jalan Dempo 17, Surabaya.

Terima kasih buat Pak Agus Gunawan yang telah bersedia memenuhi keinginan lidahku menyantap hidangan ini. Walau sudah tidak satu kantor lagi kalau aku ke Surabaya, siap-siap akan aku ganggu lagi lho pak, hahaha… Semoga sukses di tempat baru pak.

Sampai jumpa pada petualangan lidah berikutnya

Regards, Plux