Begitu sampai teras, pintu dibuka dari dalam lantas sapaan khas dalam bahasa Jawa mengalir dengan santunnya, “monggo… badhe lenggah pundhi” (silahkan, mau duduk dimana?) demikian sapaan halus plus senyum tersunging dari penyapanya ditimpali dengan musik gamelan khas Jawa.

Semua pengunjung diperlakukan sama apakah itu tamu regular ataupun yang baru datang sekali pun. Dan sapaan itu datang dari pemiliknya langsung, bu Endang. Kesan pertama sangat mempesona, apalagi hawa sejuk dari pendingin udara tak mempengaruhi cuaca yang sangat terik di luar sana.

Ketika mataku terarah pada sederet makanan di daftar menu, rasanya pengin mencoba beberapa jenis masakan sekaligus tapi ya mana mungkin dengan keterbatasan kapasitas perut. Terus terang dari daftar makanan yang di suguhkan sangat menggoda selera, ada nasi kuning, mangut ikan Pe (hayo, tempo hari siapa yang lagi bikin mangut?), pecel, nasi begana, sampai dengan galantine jaman dulu pun ada.

Bingung memilih masakan apa, lidahku yang sudah lama tidak mengecap makanan dari daging merah pun berniat untuk mencoba galantine yang menggoda selera. Dan jadilah sayur lodeh plus tempe penyet yang aku mau. Sementara yang lain memesan Gadon, urap – urap, udang sambal terasi dan empal kelem.

Sepintas aku coba layangkan pandangan mata menelusuri isi rumah makan tersebut. Hmmm bukan hanya bersih tapi rapi plus suasana yang benar benar asri dan nyaman seolah tidak berada di Jakarta.

Tak lama kemudian pesanan pun mulai di sajikan satu persatu, kembali tuan rumah mempersilakan kita makan. Dari tampilan sayur lodeh nya sudah menyiratkan masakan ‘rumahan’ dan ketika kuah dari sendok pertama menyentuh lidah, alamak… benar – benar serasa di Jawa. Apalagi nasi putihnya pulen bener. Mamiiii… ada saingan nih.

Teman pun menawarkan aku untuk mencicip gadon yang dipesannya, kembali lidahku berdecak – decak bukan karena rasa gadon tetapi ingin mencoba, tapi karena terbuat dari daging sapi ya aku pun menolak sambil melirik alias ngiler, glek.

Tak lama kemudian piring – piring di meja jadi kinclong alias bersih, hanya tersisa daun pembungkus gadon dan sedikit sambal pedassss tertinggal di piring beralaskan daun pisang

Kembali mata pun mulai gatal melihat menu lain yang ada. Kali ini makanan ringan yang menjadi sasaran. Gimbal yang di Jawa Timur terkenal dengan sebutan Heci atau Ote Ote, colenak dan rujak gobet menjadi sasaran berikutnya. Alamak, rujak gobetnya pedes, sepedas tempe penyetnya hiks… tapi jangan kuatir, menyoal tentang tingkat kepedasan bisa di pesan sewaktu order, demikian penjelasan bu Endang ketika hal ini aku sampaikan.

Ketika melangkahkan kaki keluar, komentarku ke bu Endang cuman satu, pasti nanti aku akan kembali lagi kesini. Dan ucapan terima kasih dibarengin dengan tawa renyah serenyah rempeyek menjadi jawabannya.

Kendati ada papan nama nya “Bu Endang” di Jalan Wijaya I, Jakarta Selatan, sepintas rumah makan ini dari luar tidak nampak seperti restaurant pada umumnya. Malah lebih terkesan sebagai rumah dalam arti sebenarnya. Yang paling mengesankan adalah pemiliknya menyapa tamu yang datang dan pergi bukan hanya bu Endang saja tapi suaminya juga menyapa para tamu dengan senyum tentunya.

Satu hal yang pasti, jika kokiers penyuka makanan Jawa tempat ini bisa dijadikan pelipur lidah masakan rumahan. Dan komplain ku mengalir dengan tajam ke teman yang mengajak kesana, kok gak dari dulu sih ngajak ke sini? Duh… itu semua karena rasa masakan bu Endang yang Endangggg tenannnn

Note: Rumah Makan Bu Endang, pindah ke Jl. Cipete Raya No. 16C  Jakarta Selatan, Telp. 021-7663585, 2371458

Regards,

Plux