<![endif]–>

Namanya mbah Wito berasal dari desa Manis Renggo. Sehari hari dia berjualan nasi pecel di seputaran candi Prambanan. Bermodalkan tikar dan ’rinjing’ mbah Wito pun menggelar dagangannya di atas tikarnya. Penikmat dagangannya pun harus rela ’nglempoh’ alias duduk diatas tikar untuk menikmati hidangannya.

<![endif]–>

Ketika aku berkunjung ke candi Prambanan, aku sempat mencicipi dagangan mbah Wito, yaitu nasi pecel. Bukan nasi pecel biasa tapi nasi pecel bersuasana plus nostalgia. Aku sebut bersuasana karena memang suasana alam begitu mempesona, semilir angin dan juga berlatar belakang candi Prambanan.

<![endif]–>

Disebut bernostalgia karena mbah Wito bercerita tentang masa lalunya yang sempat tinggal dan mencari nafkah di Jakarta, tepatnya di seputaran Benhil. Selama hidup di Jakarta, mbah Wito berjualan sayur keliling. Tak disebutkan pakai gerobak atau pakai ‘rinjing’, yang jelas penjaja sayuran.

<![endif]–>

Dan suatu ketika datanglah 2 orang pemuda menikmati nasi pecel dagangannya. Tak di sangka pengunjungnya kali ini adalah anak dari pelanggannya dahulu sewaktu mbah Wito menjadi penjaja sayuran di Jakarta. Sambil bercerita raut mukanya kelihatan senang sekali mengenang pertemuan itu. Apalagi setelah selesai menikmati makanannya pemuda tersebut meninggalkan uang jajan buatnya.

<![endif]–>

Sewaktu aku sedang asyik memotret datanglah sepasang suami istri ikut menikmati dagangan si mbah. Dan si suami tiba tiba nyeletuk, ”mbah, kalau ada bule mau motret, minta aja bayaran”. Gubrak, aku tertegun sejenak. Apa si bapak ini menyindir ? Aku berusaha cuek dan melanjutkan memotret si mbah yang memang tidak keberatan untuk di potret. Si bapak pun dengan santainya masih berkomentar tentang kesukaan bule untuk memotret aktivitas seperti yang mbah Wito lakukan. Ah bodo amat, lagian aku kan bukan bule.

<![endif]–>

Jujur aja aku tertegun dengan kata kata bapak tadi, bukannya marah, jengkel atau sejenisnya tapi terlebih prihatin. Kenapa orang yang selugu mbah Wito kok ya diracuni dengan pemikiran seperti itu. Apakah nilai – nilai kesederhanaan dan keramahan yang dulu diagung – agungkan oleh nenek moyang kita sudah mulai luntur? Mudah – mudahan ini hanya pemikiran dari satu orang saja.

<![endif]–>

Duh mbah, semoga panjenengan tidak terpengaruh dengan kata – kata bapak tadi ya, semoga panjenengan di berikan seger kuwarasain… Semoga mbah tetap menjadi mbah Wito yang ramah tamah kepada semua tamu yang datang.

Catatan: Terlepas dari sekarang masih ada atau tidak, beberapa saat yang lalu nasi / lontong pecel ’ala mbah Wito’ ada di Ragunan, tepatnya di lahan parkir seberang petani bunga, tidak begitu jauh dari pintu masuk bonbin. Sempat pula ada di seputaran lapangan Soemantri Brodjonegoro, pasar Festival.